Sejarah Pesantren Darul Hikam 1

Sejarah Darul Hikam dimulai pada tahun 2003. Salah seorang warga Tambaksuruh, Tambakagung, Puri, Mojokerto yang bernama Haji Syamsu (almarhum) berniat untuk mewakafkan tiga petah tanah seluas kurang lebih 2.560 m2 untuk lembaga pendidikan Islam Pondok Pesantren.

Niat suci tersebut disampaikan kepada tokoh masyarakat yang juga pemangku Masjid Tambaksuruh yang sekaligus Nazir bernama Haji Qusyairi. Gayung bersambut, niat baik itu sampai ke telinga salah seorang santri Pondok Pesantren Mambaul Hikmah, Sumbersari, Dlanggu, Mojokerto, namanya adalah Nurhadi.

Melalui almarhum Bapak Hamim, Pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai atasan Bapak Haji Qusyairi yang kebetulan kenal baik dengan santri lincah dan gigih berjuang tersebut disampaikan informasi bahwa ‘Tanah Wakaf tersebut hanya akan bisa maju dan berkembang jika diserahkan dan dikelola oleh orang yang memiliki kemampuan lahir batin, baik dari sisi ilmu, amal, ruhul jihad, dan tentunya pengalaman dan kemampuan ekonomi, selain juga nasab keturunan darah biru’.

Konon kabarnya, tanah wakaf tersebut berkali-kali ditawarkan kepada beberapa orang, namun belum ada jodoh alias tidak cocok. Salah satu sebabnya adalah tanah itu kelihatan sangat angker, sangar, masih dipenuhi pepohonan yang rimbun dan rerumputan ibarat hutan, apalagi letaknya berdampingan dengan makam umum Dusun Tambaksuruh.

Menurut keterangan beberapa warga Tambaksuruh dan Tambaksari, banyak orang yang tidak menoleh ke tanah tersebut apabila melewatinya di waktu sore atau malam disebabkan rasa ketakutan.

Nurhadi, yang ketika itu sebagai santri muda di Pesantren Mambaul Hikmah Sumbersari asuhan Bapak KH. Qusoyyi, fikirannya langsung tertuju kepada seseorang yang sudah dikenalinya yaitu Masruhan Choteb.

Selain beliau sebagai adik ipar Kyainya, pada saat itu Gus Ruhan, panggilan akrabya juga sedang membangun masjid wakaf Kalsoom Beeve di desa Gero Kecamatan Gondang yang tanahnya adalah wakaf kakek Nurhadi.

Setelah beberapa kali diadakan rundingan melalui telepon antara santri Nurhadi dengan Gus Ruhan, karena pada saat itu beliau sedang menempuh S2 di Universitas Malaya Kuala Lumpur Malaysia, dan atas restu dan do’a KH. Qusoyyi dan juga Bapak Drs. Hamim Rosyidi,Msi. yang juga Paman isteri Gus Ruhan.

Gus Ruhan terbang dari Kuala Lumpur langsung menuju lokasi Tambaksuruh setelah menghampiri Bapak Hamim pegawai KUA. Beliau dijemput oleh Nurhadi dan Drs. Hamim Rosyidi di Juanda Surabaya.

Sampai tiba di lokasi Tambaksuruh, mereka berempat (Gus Ruhan, Nurhadi, Bapak Hamim KUA dan Bapak Drs. Hamim Rosyidi) langsung disambut oleh Bapak Haji Qusyairi sebagai nazir dan pemangku Masjid Tambaksuruh dan dipertemukan dengan almarhum Bapak Haji Syamsu, yaitu Wakif tanah dan berlakulah serah terima tanah wakaf.

Tidak berapa lama Bapak Hamim yang kebetulan sebagai pegawai KUA segera mengurus sertifikat wakaf tersebut. Pertengahan 2004, setelah Gus Ruhan selesai membangun masjid wakaf Kalsoom Beeve di Desa Gero Gondang, beliau memulai membersihkan tanah wakaf baik secara lahir maupun batin.

Secara lahirnya dengan mengirim beberapa santrinya dari Kedungmaling seperti Kang Dayat dan Kang hayan santri asal Nganjuk, Kang Hanafi santri beliau asal kendal Jawa Tengah, Kang Zawawi dan Kang Suud asal Pare Kediri, Mbah Zein santri asal Ciamis Jawa Barat, Kang Riza santri asal Mojokerto dan lain sebagainya untuk memotong rumput dan kayu sedikit demi sedikit secara bergiliran.

Urusan keuangan dan tenaga kerja itu diamanahkan kepada Nurhadi sampai tahun 2008 dan pada September 2009 mulai diamanahkan kepada Gus Mohammad Syamwil, keponakan Gus Ruhan yang kala itu dijemput beliau dari Al-Azhar Mesir.

Akhir tahun 2004 baru dimulai peletakan batu pertama yang diketuai oleh seorang tukang bernama Pak Iskandar dari Pati Jawa Tengah. Adapun secara batin, kelahiran atau ‘babat’ PP. Darul Hikam atau yang kini sering disebut Dar el Hikam International Islamic Boarding School ini sangat panjang dan tidak dapat dipisahkan dengan ‘riyadhah atau tirakat’ pendirinya sejak kecil yang insya Allah akan dikisahkan dalam sub bab tersendiri.

Pak Kandar : Sahabat Gus Ruhan Sejak nyantri di Pondok Sanggrahan Nganjuk ”…Kang Kandar, tolong sampean turoni dan meleki tanah angker ini…..!” Perintah Gus Ruhan kepada sahabatnya. Walaupun kang Kandar 11 tahun lebih tua, namun keduanya adalah satu kelas dan sangat akrab sejak nyantri di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Sanggrahan Prambon Nganjuk asuhan Mbah Yai Hisyam al-Hafiz, adik kelas Mbah Yai Arwani Kudus di bawah asuhan Syeikh Munawwir Krapyak Yogyakarta.

Pak Kandar, seorang yang badanya kecil agak pendek namun kuat tenaga dan rohaninya adalah santri dari Pati Jawa Tengah. Dia menjaga amanah mulia itu mulai tahun 2004 sampai 2008. Pada siang harinya bekerja membersihkan lahan yang ibarat hutan, membuat dan mencetak batu bata, dan menjadi kepala tukang selama 5 tahun lebih.

Pada waktu malam, dengan tlaten dan sabar dia mengajar mengaji anak-anak kampung Tambaksuruh. Di dalam Gubuk buruk itu, kadang-kadang dia masak sendiri dan jarang tidur malam, dihabiskan waktunya untuk wiridan dan berdzikir.

Seringkali dia juga berpuasa walaupun harus bekerja keras pada siang harinya. Biasanya dia akan pulang ke Nganjuk dua minggu sekali untuk memberi nafkah kepada keluarganya. Anaknya yang paling tua, bernama Mbak Yuni, begitu anak-anak Gus Ruhan memanggilnya nyantri selama kurang lebih 5 tahun di Kedungmaling, di padepokan belakang rumah Gus Ruhan bersama-sama beberapa santriwati yang lain seperti Mbak Fitroh (kini bendahara umum yayasan), Mbak Izah dan Mbak Lina (keduanya kini menjadi ustadzah di Darul Hikam).

Leave a Comment